Hukum Makmum Mengikuti Imam di Balik Tembok
Hukum Makmum Mengikuti Imam di Balik Tembok ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 4 Rabiul Akhir 1446 H / 7 Oktober 2024 M.
Kajian Tentang Hukum Makmum Mengikuti Imam di Balik Tembok
Pembahasan kita masih terkait fiqih shalat berjemaah. Kemarin, kita sampai pada pembahasan mengenai anak kecil yang berdiri dalam shalat berjemaah. Saya menjelaskan bahwa diperbolehkan bagi anak kecil untuk shalat di shaf pertama, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Pada dasarnya, tidak ada perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak dalam hal ini. Sebagaimana orang dewasa boleh shalat di shaf pertama—yang merupakan shaf paling afdhal—anak kecil juga diperbolehkan berada di sana.
Namun, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, ada hadits yang menunjukkan bahwa sebaiknya yang berada di belakang imam adalah orang dewasa, terutama mereka yang paham tentang hukum-hukum agama. Hal ini agar jika terjadi kesalahan atau kelupaan pada imam, orang yang berada di belakangnya bisa mengingatkan dan membetulkan. Demikian pula jika imam batal, misalnya karena harus berwudhu atau hal lain, orang tersebut dapat menggantikan posisi imam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ليليني منكم أولو الأرحام والنهُّى…
“Hendaklah yang di belakangku dari kalian adalah orang-orang yang sudah dewasa dan sempurna akalnya.” (HR. Muslim)
Hukum posisi imam lebih tinggi dari makmum
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang bagaimana hukumnya jika seorang imam posisinya lebih tinggi dari makmum? Atau sebaliknya, bagaimana hukumnya apabila makmum posisinya lebih tinggi dari imam? Ini adalah masalah yang jarang dibahas dan jarang disinggung.
Disebutkan di sini bahwa dimakruhkan bagi seorang imam untuk shalat dalam keadaan tempatnya lebih tinggi daripada makmumnya, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini berlaku baik jika dilakukan karena kebutuhan maupun tidak. Mayoritas ulama berpendapat bahwa apabila posisi imam lebih tinggi dari makmum, maka hal itu dimakruhkan, terlepas dari ada atau tidaknya kebutuhan.
Namun, ada pendapat yang lebih mendekati kebenaran daripada pendapat mayoritas ulama, yaitu dari Imam Syafi’i rahimahullah. Berdasarkan dalil yang beliau sebutkan, Imam Syafi’i berpendapat bahwa dibolehkan bagi imam yang ingin mengajarkan cara shalat kepada makmum di belakangnya untuk shalat di tempat yang lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar makmum dapat mengikuti gerakan imam dengan lebih jelas. Imam Syafi’i rahimahullah mengecualikan keadaan ini, khususnya ketika imam ingin mengajarkan cara shalat kepada makmum -misalnya murid-murid baru di sebuah sekolah atau pondok. Jika imam ingin mengajarkan shalat sesuai tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara langsung dan praktik, maka diperbolehkan imam shalat di tempat yang lebih tinggi karena adanya kebutuhan tersebut, sehingga tidak dimakruhkan.
Ini juga merupakan riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Hal ini berdasarkan hadits Sahl bin Sa’ad ketika beliau ditanya tentang mimbar. Beliau mengatakan,
… ثم رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صلَّى عليها (يعني أعواد المنبر) وكبَّر وهو عليها، ثم ركع وهو عليها…
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat di atasnya (yakni di atas mimbar). Beliau bertakbir di atas mimbar, kemudian rukuk juga di atasnya. Setelah itu, beliau turun mundur dan sujud di dasar mimbar. Kemudian beliau kembali ke tempatnya. Ketika selesai, beliau menghadap kepada orang-orang dan bersabda, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku melakukan ini agar kalian bermakmum kepadaku dan agar kalian mempelajari cara shalatku.`” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal tersebut adalah untuk mengajarkan shalat kepada para jemaah. Dengan demikian, kemakruhan dari perbuatan itu menjadi hilang.
Mungkin ada yang bertanya, “Ustadz, mana dalil yang menunjukkan bahwa pada asalnya jika imam berada di tempat yang lebih tinggi maka hukumnya makruh?” Dalilnya adalah atsar, sebagaimana disebutkan bahwa Hudzaifah pernah mengimami orang-orang di negeri Madain di tempat yang lebih tinggi. Ketika itu, Abu Mas’ud al-Ansari menarik bajunya Hudzaifah. Setelah shalat selesai, Abu Mas’ud berkata kepada Hudzaifah, “Apakah kamu tidak tahu bahwa dulu orang-orang dilarang melakukan hal seperti itu (yaitu memilih tempat yang lebih tinggi daripada makmum saat shalat)?” Maka Hudzaifah mengatakan, “Iya, aku ingat ketika engkau menarikku.”
Riwayat ini menunjukkan bahwa pada zaman dahulu para sahabat dilarang untuk melakukan hal tersebut. Karena itulah, mayoritas ulama mengatakan bahwa posisi imam yang lebih tinggi dari makmum adalah makruh.
Alhamdulillah, di masjid-masjid pada umumnya tidak terlihat adanya perbedaan posisi yang signifikan antara imam dan makmum. Posisinya biasanya sama. Namun, kita perlu waspada agar tidak membangun masjid dengan posisi imam yang lebih tinggi dari makmum, meskipun tujuannya mulia, misalnya agar para makmum dapat lebih mudah melihat imam atau tujuan lainnya. Ternyata, hal ini dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kemakruhan akan hilang ketika ada kebutuhan. Di antara kebutuhan yang membolehkan hal tersebut adalah untuk mengajarkan cara shalat yang benar kepada makmum. Atau, dalam situasi tertentu, misalnya tidak ada lagi tempat sejajar dengan imam, sehingga makmum harus berada di lantai bawah atau bagian lain yang lebih rendah. Contohnya, ketika masjid penuh, seperti saat shalat Jumat, sehingga sebagian makmum harus shalat di pelataran atau halaman masjid yang lebih rendah dari ruang utama.
Dalam kondisi seperti ini, meskipun posisi imam lebih tinggi dari sebagian makmum, hal tersebut tidak dianggap makruh karena adanya kebutuhan atau keadaan darurat. Jika tidak demikian, makmum mungkin tidak dapat berjemaah bersama imam.
Masalah berikutnya adalah bagaimana jika posisi makmum lebih tinggi dari imam? Misalnya, imam shalat di lantai dasar, sedangkan masjid penuh sehingga sebagian makmum shalat di lantai dua. Apakah hal ini makruh? Pada dasarnya, tidak ada yang memakruhkan situasi seperti ini. Pertama, karena ada kebutuhan untuk itu. Kedua, karena tidak ada dalil yang memakruhkan posisi makmum yang lebih tinggi dari imam. Jika posisi imam lebih tinggi dari makmum, memang ada dalil yang memakruhkan, tetapi untuk sebaliknya, tidak ada dalil yang melarangnya.
Hukum seorang makmum mengikuti imam di balik penghalang
Masalah lain yang dibahas adalah hukum seorang makmum mengikuti imam di balik penghalang, seperti tembok. Apakah hal ini dibolehkan? Disebutkan hal ini dibolehkan selama shaf-nya masih bersambung. Baik di dalam maupun di luar masjid, maka dibolehkan untuk bermakmum kepada imam, sebagaimana disepakati oleh para Imam.
Diriwayatkan dari Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata bahwa “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa shalat di malam hari di hujrahnya (bilik). Dinding biliknya pendek, sehingga orang-orang dapat melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu beberapa orang berdiri dan shalat bermakmum mengikuti shalat beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54547-hukum-makmum-mengikuti-imam-di-balik-tembok/